Text
Mahar dalam Al_Qur’an: Analisis Tafsir Maqāṣidī Rasyīd Riḍā dalam Kitab Tafsir al_Manār, serta Relevansinya dengan Hukum Fiqih dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia
Kata Kunci: Mahar, Maqāṣid al-Qur’ān, Rasyīd Riḍā, Tafsir al-Manār.
Islam sangat memperhatikan kedudukan perempuan yaitu memberikah hak untuk
menerima mahar. Mahar merupakan kewajiban yang harus ditetapkan dalam pernikahan yang
diberikan oleh suami kepada istri baik berbentuk materi ataupun non materi (jasa)
berdasarkan kerelaan kedua belah pihak karena rasa cinta dan kasih sayang. Akan tetapi
disyariatkannya mahar, justru disalah-artikan dan disalah-gunakan di kalangan umat Islam
khususnya masyarakat pada zaman sekarang, banyak yang beranggapan bahwa mahar itu
dimaksudkan untuk membeli kehormatan perempuan, sehingga perempuan dan pihak
keluarganya mematok mahar dengan nilai yang sangat tinggi. Padahal Allah telah
menjelaskan tujuan dan hikmah disyariatkannya mahar di dalam Al-Qur’an, salah satunya
untuk kemaslahatan bagi suami dan istri, dan hukum mahar adalah wajib.
Penulis menggunakan pendekatan maqāṣid al-Qur’ān. Maqāṣid al-Qur’ān adalah
sebuah cara atau metode yang digunakan oleh mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an guna
untuk menggali tujuan atau hikmah yang terkandung dari ayat-ayat Al-Qur’an.Untuk
mengetahui maqāṣid dari term mahar perlu menggunakan tokoh Rasyīd Riḍā dalam kitab
tafsir al-Manār. Dan jenis penelitian yang dipakai adalah penelitian studi kepustakaan
(library research) dengan menggunakan metode deskriptif-analitis-tematik ayat.
Adapun maqāṣid Rasyīd Riḍā dari term mahar: Niḥlah dan ṣaduqāt dalam QS. anNisa’(4): 4, farīḍah dalam QS. al-Baqarah (2):236, ujūr dalam QS. an-Nisa’ (4): 24, qinṭār
dalam QS. an-Nisa’ (4): 20, adalah tujuan disyariatkan mahar sebagai ikatan cinta antara dua
jenis manusia dalam pernikahan secara halal, sehingga hubungan suami istri lebih mulia dari
pada sebatas hubungan antara laki-laki dengan benda miliknya atau budak perempuannya
sebagai hawa nafsu. Sedangkan dalam konteks hukum fikih, mahar diartikan sebagai alat
tukar dan harga dari hilangnya kehormatan perempuan. Menurut penulis, hal ini dirasa tidak
relevan dengan pendapat Rasyīd Riḍā di atas. Namun mahar dalam konteks KHI (Kompilasi
Hukum Islam) di Indonesia, ditegaskan dalam UUD 1945 pasal 31 bahwa penetuan mahar
berdasarkan atas kesederhanan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran agama Islam. Hal
ini relevan dengan pendapat Rasyīd Riḍā bahwa islam memerintahkan dalam pembayaran
mahar sesuai dengan kemampuan, kemudahan, kesederhanaan, kerelaan, dan keikhlasan dari
calon suami, melainkan bukan ditentukan oleh adat, atau paksaan dari salah satu pihak
Tidak tersedia versi lain