Text
RESTORASI LINGKUNGAN DALAM AL-QUR'AN (KAJIAN TAFSIR TEMATIK PERSPEKTIF TAFSIR AL-MISBAH)
Kata Kunci: Restorasi, Lingkungan, Al-Qur’an, Tafsir Al-Mishbāh
Allah menciptakan alam ini tidak lain hanya untuk kepentingan manusia.
Berbagai kebutuhan manusia semua dihasilkan dari alam, seperti pangan, sandang
dan papan. Tetapi faktanya, terjadi ketidakseimbangan antara manusia dan alam.
Alam mencukupi segala kebutuhan manusia, namun sebaliknya manusia kurang
memperhatikan kelestarian alam. Beberapa kasus kerusakan lingkungan akibat
ulah tangan manusia, seperti sampah popok bayi yang berserakan di Pantai Badur,
kecamatan Batu Putih, kabupaten Sumenep (8/9/2021). Pencemaran air laut di
Pantai Lombang Batang-Batang akibat limbah tambak udang (5/6/2021) dan
kasus kerusakan lingkungan lainnya. Selain sebagai pedoman hidup, Al-Qur’an
juga dikenal dengan syifā’ (obat) sebagai solusi dalam upaya restorasi
lingkungan, yang difokuskan pada kitab Tafsir Al-Mishbāh. Dalam penelitian ini
terdapat tiga rumusan masalah, yaitu: 1) Bagaimana Al-Qur’an menjelaskan isu
restorasi lingkungan?, 2) Bagaimana penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an tentang
restorasi lingkungan dalam Tafsir Al-Mishbāh?, 3) Bagaimana penafsiran ayatayat Al-Qur’an tentang restorasi lingkungan dalam Tafsir Al-Mishbāh menurut
teori etika lingkungan?. Metode yang digunakan berupa library research dengan
menggunakan pendekatan teori etika lingkungan, dengan langkah-langkah analisis
metode tafsir tematik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: Al-Qur’an
membahas isu restorasi lingkungan salah satunya adalah syukur, yang berarti
menampakkan nikmat yang dapat diwujudkan dengan menggunakan nikmat
tersebut sesuai dengan tujuan pemberiannya. Dalam artian tidak menghamburhamburkan atau melebih-lebihkan dalam menggunakan nikmat tersebut (QS.
Luqmān (31): 12 dan QS. al-Insān (76): 3). Syukur dapat direalisasikan dengan
hati, lisan dan perbuatan, termasuk upaya restorasi lingkungan yang bersifat non
fisik atau moral: 1) Keadilan (QS. al-Rahmān (55): 7-8 dan QS. al-‘Arāf (7): 29),
manusia dapat memanfaatkan alam dan manusia pula dapat melestarikan alam. 2)
Kejujuran (QS. al-Syu’arā’ (26): 181-184 dan QS. Hūd (11): 85), manusia tidak
melakukan tindakan yang dapat merugikan orang lain, termasuk alam. 3)
Kepedulian (QS. al-Rūm (30): 9), manusia menggunakan akal dan tubuh untuk
memperhatikan alam, sehingga mampu menghalangi diri sendiri dan pihak lain
untuk merugikan alam. Manusia cenderung mengikuti hawa nafsu, rakus, tamak
dan berbuat curang, sehingga menimbulkan berbagai kerusakan lingkungan. Hal
ini selaras dengan teori antroposentrisme yang memandang kepentingan manusia
di atas segalanya, tanpa memperhatikan makhluk hidup lainnya. Seseorang yang
memiliki sifat adil akan menjaga keseimbangan alam dan tidak berbuat curang, ia
memanfaatkan alam dan ia pula yang melestarikan alam sebagai bentuk dari
kepedulian terhadap alam. Hal ini setara dengan teori biosentrisme yangvi
menganggap semua makhluk hidup sebagai pusat, baik manusia maupun non
manusia. Begitu pula dengan teori ekosentrisme yang tidak hanya memusatkan
pada makhluk hidup saja, tetapi juga melingkupi kondisi alam sekitar.
Tidak tersedia versi lain