Text
TONGKAT NABI MUSA AS (STUDI DIKSIONAL-LEKSIKAL AL-QUR’AN)
ABSTRAK
Najihatul Abadiyah Mannan, 2019, Tongkat Nabi Musa as. (Studi Diksional-Leksikal al-Qur’an), Skripsi, Program Studi IQT, Fakultas Ushuluddin dan Dakwah, IAIN Madura, Pembimbing:Mohammad Subhan Zamzami, Lc., M. Th. I
Kata Kunci: Tongkat, Ular, Stilistika, Diksional-Leksikal
Dalam al-Qur’an, tongkat Nabi Musa as. salah satunya dapat berubah menjadi ular. Dalam mengungkapkan makna ular, al-Qur’an menggunakan tiga lafal yang berbeda, yakni ẖayyah, tsu῾bân dan jânn. Di satu sisi al-Qur’an menjelaskan bahwa tongkat Nabi Musa berubah menjadi ular yang sebenarnya (QS. al-A῾râf [7]: 107). Sedangkan di sisi lain, tongkat Nabi Musa berubah hanya menyerupai ular (QS. al-Naml [27]: 10).
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan hakikat tongkat Nabi Musa, mengkaji lafal ‘ashâ dan lafal yang bermakna ular dalam kisah Nabi Musa as. beserta implikasinya berdasarkan teori diksional-leksikal dalam stilistika. Diksional-leksikal merupakan salah satu cabang dari stilistika.Diksional adalah pemilihan kata yang sesuai agar cocok dengan konteks yang dijelaskan. Sedangkan leksikal adalah makna dasar suatu kata. Ranah kajian diksional-leksikal adalah sinonim dan polisemi. Penelitian ini menggunakan pendekatan stilistik yang bersifat deskriptif-analitis. Dalam jenis penelitian al-Qur’an dan tafsir, penelitian ini termasuk jenis penelitian tematik konseptual.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tongkat Nabi Musa as. pada hakikatnya adalah sebuah kayu yang berasal dari sebuah pohon dan bersifat keras dan kokoh sehingga dapat membantu Nabi Musa dalam hal apapun. Al-Qur’an memilih diksi‘ashâ untuk menggambarkan tongkat Musa, karena ‘ashâ adalah istilah untuk tongkat yang memang digunakan sebagai tumpuan ketika berjalan. Diksi tsu῾bân dipilih ketika Musa menunjukkan kekuasaan Allah di hadapan Fir῾aun, karena tsu῾bân (makna leksikal: sâla/jarâ) bermakna ular yang besar, gemuk, panjang tapi tidak gesit dan berjenis kelamin jantan. Ketika menerima mukjizat di bukit Sinai, al-Qur’an memilih diksi ẖayyah (karena ia termasuk jenis ular yang besar dan gesit)dan jânn atau ular kecil tapi gesit (makna leksikal: satr), karena perubahan tongkat tersebut tertutup dari keramaian manusia. Ketiga lafal tersebut memiliki makna yang berdekatan. Berdasarkan analisis teori diksional leksikal, maka dapat diketahui bahwa lafal tsu῾bânbersanding dengan mubîn karenaular tersebut berbentuk seperti aliran airke dalam lembah dan terlihat jelas di hadapan Fir῾aun. Lafal ẖayyah bersanding dengan tas῾â karena ular tersebut berjalan dengan gesit dan mencari kehidupan. Lafal jânnbersanding dengan tahtazzu-ka annahâ karena ular tersebut mempunyai gerakan gesit. Khusus lafal jânn, ia hanya menjadi bayân bahwa gesitnya ẖayyah seperti gesitnya jânn. Karena 2 lafal tersebut digunakan dalam satu peristiwa. Sehingga, tongkat Nabi Musa benar-benar berubah menjadi ular, bukan menyerupai ular ketika peristiwa di bukit Sinai.
Tidak tersedia versi lain