Text
STUDI KOMPARASI STATUS WALI WÂSHÎ DALAM PERNIKAHAN PERSPEKTIF IMAM MALIK DAN IMAM SYAFI’I
Hairul Umam, 2018, Studi Komparasi Status Wali Wâshî dalam Pernikahan Perspektif Imam Malik dan Imam Syafi’i, Skripsi, Program Studi Al-Ahwal Al-Syakhshiyah, Jurusan Syariah, IAIN Madura. Pembimbing: Arif Wahyudi, Lc, MA.
Kata Kunci: Wali Wâshî, Pernikahan, Imam Malik dan Imam Syafi’i
Pernikahan dalam Islam mempunyai rukun dan syarat yang menentukan sah tidaknya pernikahan tersebut. Ulama’ fiqh sependapat bahwa wali merupakan syarat atas sah tidanya perkawinan. Pembahasan mengenai siapa yang paling berhak menjadi wali memunculkan ikhtilaf di kalangan ulama’ fiqh. Misalnya saja seperti yang terjadi diantara Imam Malik dan Imam Syafi’i. Pada dasarnya, Imam Malik dan Imam Syafi’i sependapat bahwa wali merupakan rukun dalam pernikahan, akan tetapi kedua Imam ini berbeda pendapat terkait siapa saja yang berhak dan yang lebih didahulukan menjadi wali terutama dalam menyikapi wali wâshî, yakni orang yang berhak menjadi wali sebagai akibat atas wasiat ayah kandung (setelah matinya ayah). Mengenai wali wâshî ini, kedua ulama’ tersebut berbeda pendapat tentang kebolehan mengakad nikahkan perempuan dengan wali wâshî tersebut. Dari persoalan inilah Penulis tertarik untuk melakukan kajian lebih lanjut dengan judul “Studi Komparasi Ststus Wali Wâshî dalam Pernikahan Perspektif Imam Malik dan Imam Syafi’i”.
Ada dua permasalahan yang menjadi kajian pokok dalam penelitian ini: pertama, Bagaimana pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i tentang status wali wâshî dalam pernikahan?; kedua, Bagaimana persamaan dan perbedaan pendapat Imam Maliki dan Imam Syafi’i tentang status wali wâshî dalam pernikahan?.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian library research (studi pustaka). Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa literatur-literatur. Data penelitian dihimpun menggunakan teknik dokumentasi, yaitu mengumpulkan data dan informasi dari buku, jurnal, majalah dan artikel. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis deskriptif komparatif dengan pola pikir deduktif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: pertama, Imam Malik berpendapat bahwa wali wasĥi kedudukannya seperti ayah yang mempunyai hak ijbar dan statusnya didahulukan daripada wali nasab. Sedangkan Imam Syafi’i beranggapan bahwasanya wasĥi tidak termasuk dari wali yang boleh menjadi wali bagi perempuan yang akan menikah, karena yang dianggap sebagai wali nikah oleh Imam Syafi’i adalah ‘ashabah dan juga kerabat lain. Kedua, Persamaan pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i terkait wali wasĥi adalah dalam penggunaan landasan hadits tentang peran wasĥi, namun terdapat perbedaan dalam menginterpretasikan hadits tersebut. Perbedaan lain dari kedua imam madzhab ini adalah Imam Malik berlandaskan pada qaul sahabi serta menganalogikan wali wasĥi dengan praktik taukil wali, sehinga beliau berpendapat bahwa wasĥi termasuk wali dalam pernikahan dan kedudukannya sama dengan ayah. Sedangkan Imam Syafi’i menganggap akad wasiat ayah untuk menikahkan sama dengan taukil, sehingga ketika ayah meninggal, wasiat untuk menikahkan putus dan secara otomatis berpindah kepada kerabat perempuan tersebut.
Tidak tersedia versi lain