Text
Pemenuhan Kewajiban Suami Terhadap Istri Dalam Masa ‘Iddah (Studi Komparasi Antara Madzhab Hanafi dan Syafi’i),
ABSTRAK
Jumlihah, 2018, Pemenuhan Kewajiban Suami Terhadap Istri Dalam Masa ‘Iddah (Studi Komparasi Antara Madzhab Hanafi dan Syafi’i), Skripsi, Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyah, Jurusan Syari’ah, IAIN Madura, Pembimbing: Dr. Moh Zahid, M.Ag.
Kata Kunci : ‘Iddah, Hanafiyah, Syafi’iyah
Iddah merupakan masa menunggu bagi wanita untuk tidak melakukan akad pernikahan dengan laki-laki lain dalam masa tersebut, setelah terjadinya perceraian dengan suaminya, baik secara hidup atau mati, dengan tujuan mengetahui keadaan rahimnya. Menurut jumhur ulama iddah hanya diberlakukan bagi perempuan yang sudah di setubuhui oleh suaminya, sedangkan wanita yang belum disetubuhi tidak ada iddahnya. Apabila ia ditinggal mati oleh suaminya sebelum disetubuhi, maka istri wajib beriddah seperti wanita yang sudah bercampur dengan suaminya
Berdasarkan hal tersebut, maka ada dua permasalahan yang menjadi kajian pokok dalam penelitian ini, yaitu: pertama, bagaimana pendapat Hanafiyah dan Syafi’iyah tentang pemberian nafkah suami terhadap istri dalam masa ‘iddah; kedua, bagaimana proses pengambilan hukum Hanafiyah dan Syafi’iyah tentang penentuan pemberian nafkah suami terhadap istri dalam masa ‘iddah.
Penelitian ini menggunakan pendekatan komparatif dengan jenis penelitian pustaka (library research). Sumber data diperoleh melalui dokumentasi baik buku, jurnal, ensiklopedi, dan kamus. Sedangkan pengecekan keabsahan data dilakukan melalui penguraian secara rinci.
Hasil penellitian menunjukkan bahwa: pertama, pendapat Hanafiyah adalah suami wajib memberi nafkah dan tempat tinggal kepada istri yang sedang dalam masa ‘iddah, baik ‘iddah raj’i maupun ‘iddah ba’in, baik dalam keadaan hamil atau tidak. Pendapat Syafi’iyah adalah suami hanya wajib menyediakan tempat tinggal selama istri dalam masa ‘iddah tanpa harus memberi nafkah kecuali istri sedang dalam keadaan hamil Kedua, Hanafiyah berpegang teguh pada dzahir nash QS. Al-Thalaq: 6 dan 7, yaitu tidak ada perbedaan antara ‘iddah raj’i maupun ‘iddah ba’in, hamil atau tidak. Syafi’iyah melihat keumuman naszh tersebut harus ditakhsis, yaitu dengan hadits dari Fatmah binti Qais, sehingga istri yang ‘iddah ba’in tidak berhak mendapatkan nafkah kecuali dalam keadaan hamil.
Tidak tersedia versi lain