Text
Problematika Nafkah Terhadap Anak Oleh Bapak Pasca Perceraian di Desa Branta Tinggi Kecamatan Tlanakan Kabupaten Pamekasan
ABSTRAK
Mulyadi, 2017, “Problematika Nafkah Terhadap Anak Oleh Bapak Pasca Perceraian di Desa Branta Tinggi Kecamatan Tlanakan Kabupaten Pamekasan” Skripsi , Program Studi Al-Ahwal Al- Syakshiyyah, Jurusan Syari’ah.
Kata Kunci: kewajiban Bapak, hak-hak anak pasca perceraian.
Anak merupakan persoalan yang selalu menjadi perhatian berbagai kalangan masyarakat, bagaimana kedudukan dan hak-haknya dalam keluarga dan bagaimana seharusnya ia diperlakukan oleh kedua orangtuanya, bapak kandung berkewajiban memberikan jaminan nafkah anak kandungnya dan seorang begitu dilahirkan berhak mendapatkan nafkah dari bapaknya baik pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya meskipun perkawinan orangtua si anak telah putus. Bagi anak –anak yang dilahirkan perceraian orangtuanya merupakan hal yang akan mengguncang kehidupannya dan akan berdampak buruk bagi pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga biasanya anak-anak adalah pihak yang paling menderita dengan terjadinya perceraian orangtuanya. Landasan kewajiban bapak menafkahi anak selain karena hubungan nasab juga karena kondisi anak yang belum stabil dan sedang membutuhkan pembelanjaan, hidupnya tergantung kepada adanya pihak yang bertanggung jawab menjamin nafkah hidupnya. Orang yang paling dekat dengan anaknya adalah bapak dan ibunya, apabila ibu bertanggung jawab atas pengasuhan anak dirumah, maka sang bapak bertanggung jawab mencarikan nafkah anaknya. Perceraian merupakn suatu hal yang menakutkan bagi setiap suami, istri, dan anak.
Secara metodologi penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis fenomena. Sumber datanya adalah para bapak (suami). Untuk memperoleh data tentang problematika nafkah terhadap oleh bapak pasca perceraian. Data tersebut diperoleh dengan cara wawancara, observasi, serta dokomentasi. Kemudian dilakukan analisis data untuk mendapatkan sejumlah temuan penelitian. Sedangkan pengecekan keabsahan data dilakukan dengan ketekunan pengamatan, triangulasi, dan pemeriksaan melalui diskusi.
Hasil penelitian menemukan bahwa: pertama pola pemberian para bapak setelah bercerai dengan istrinya dan dikarunia seorang anak, bapak tersebut tidak mau menafkahi anak kandungnya sendiri. Dimana sorang suami (bapak) berkewajiban menafkahi anaknya meskipun perkawinannya putus. Akan tetapi kenyataan yang ada di desa Branta Tinngi para bapak yang bercerai dengan istrinya meninggalkan kewajiban sebagai seorang bapak dalam kebutuhan anaknya, dikarenakan minimnya pemahaman keagamaan terutama dalam nafkah anak pasca perceraian dan suatu kelumrahan atau kebiasan dalam nafkah anak pasca perceraian yang ada didesa Branta Tinngi tersebut.Kedua, pola pemberian nafah terhadap anak oleh bapak pasca perceraian dalam tinjaun hukum IslamKewajibanpemberiannafkahorangtuaterhadapanaknya yang miskin. Sebagaimanahalnyadiwajibkannafkahterhadapanaknya yang berkecupanterhadaporangtuanya yang kekurangan, makajugadiwajibkanbagi orang tua yang mamputerhadapanak yang kekurangan.Begitupundenganpasal 45 ayat 1 dan 2 Undang-UndangNomor 1 tahun 1974 tentangperkawinan yang berbunyi:1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. 2. Kewajiban orangtua yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orangtua putus.Pasal 149 huruf d dan pasal 156 huruf d kompilasi hukum Islam tentang hukum perkawinan yang berbunyi:Pasal 149 huruf d “memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.Pasal 156 huruf d “ semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri-sendiri (21 tahun).
Tidak tersedia versi lain