Text
Kedudukan Cucu Sebagai Ahli Waris Pengganti Dalam Sistem Kewarisan Hazairin dan Syafi’iyyah. Skripsi. Jurusan Syari’ah, Program Studi al-Ahwal al-Syakhshiyyah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pamekasan
ABSTRAK
Nama: Ryan Yulita Eka Purnasari. Judul: Kedudukan Cucu Sebagai Ahli Waris Pengganti Dalam Sistem Kewarisan Hazairin dan Syafi’iyyah. Skripsi. Jurusan Syari’ah, Program Studi al-Ahwal al-Syakhshiyyah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pamekasan, Pembimbing; Moh. Zahid, M. Ag. Tahun: 2009.
Kata Kunci: Ahli Waris Pengganti, Cucu, sistem kewarisan Islam.
Ada tiga permasalahan yang menjadi kajian pokok dalam penelitian ini. Pertama, tentang kedudukan cucu sebagai ahli waris pengganti dalam sistem kewarisan Hazairin. Kedua, tentang kedudukan cucu sebagai ahli waris pengganti dalam sistem kewarisan Syafi’iyyah. Ketiga, perbedaan sistem kewarisan Hazairin dan Syafi’iyyah tentang cucu sebagai ahli waris pengganti.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian library research, dengan menggunakan tehnik analisis hermeneutik. Sedangkan sumber datanya adalah sumber-sumber data yang di himpun dari literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah hukum kewarisan Islam perspektif Hazairin dan Syafi’iyyah.
Prof. Dr. Hazairin, S.H. merupakan ahli hukum Islam dan hukum adat yang menghasilkan teori baru tentang sistem kewarisan Islam. Dimana Hazairin menjelaskan bahwa hukum kewarisan Islam berdasarkan al-Quran dan Hadits adalah sistem kewarisan bilateral, yaitu ahli waris terdiri dari kedua belah pihak, baik keturunan laki-laki maupun perempuan, menurutnya ada tiga golongan ahli waris pertama, dzawil furudl, kedua, dzawil qarabah, ketiga, mawali, dan mawali inilah yang diartikan sebagai ahli waris pengganti, yang mana ia dapat menggantikan posisi ayah atau ibunya yang meninggal lebih dulu dari pada pewaris. Pendapat ini sangat berbeda dengan Syafi’iyyah dengan sistem kewarisan patrilineal yang mana ahli waris diambil dari pihak laki-laki saja. Berdasarkan sistem kewarisan tersebut Syafi’iyyah membagi ahli waris menjadi tiga golongan, pertama, dzawil furud, kedua, ashabah (bagian sisa dari pihak laki-laki) ketiga, dzawil arham (kerabat jauh dari pihak perempuan). Dalam pandangan al-Syafi’i cucu yang memperoleh bagian waris (dengan ketentuan yang ada) hanyalah cucu dari keturunan laki-laki (ibnul ibn/ bintul ibn), sedangkan cucu dari keturunan anak perempuan tidak memperoleh hak dari harta waris karena termasuk dzawil arham. Dan cucu dari anak laki-laki tersebut memperoleh bagian dari harta waris bukan di kategorikan sebagai ahli waris pengganti.
Hasil penelitian menunjukan bahwa Syafi’iyyah dalam hal kewarisan Islam lebih dekat dengan makna harfiyah (tekstual) dalam memahami ayat, sehingga terkesan menjauhkan penggunaan analisis keadilan dan akhirnya sistem kewarisan Syafi’i cendrung diskriminatif terutama tentang kedudukan cucu sebagai ahli waris pengganti. Sebaliknya Hazairin lebih banyak menggunakan hasil-hasil keilmuan kontemporer (antropologi) yang diyakini memberikan pemhaman yang tepat dalam proses penafsiran dan juga sesuaikan dengan adat di Indonesia sehingga terkesan lebih dekat dengan rasa keadilan bagi masyarakat Indonesia terutama tentang cucu sebagai ahli waris pengganti
Tidak tersedia versi lain