Text
Pandangan Pengasuh Pesantren Tentang Penentuan Kuantitas Maskawin Di Kecamatan Kota Sumenep
Kata kunci: maskawin, kiai, pengasuh pesantren.
Maskawin termasuk salah satu syariat Islam yang wajib ditunaikan
bagaimanapun keadaannya tetap diwajibkan. Maskawin bisa berupa barang atau
jasa yang penting memiliki manfaat dan nilai. Disyariatkan maskawin sebagai
protes sosial di masa jahiliyah, hak kepemilikan maskawin yang dimiliki oleh
wali dari perempuan dan ini mengisyaratkan bahwa perempuan tidak memiliki
hak pada dirinya dan hartanya sehingga dengan adanya syariat maskawin ini
perempuan memiliki hak penuh pada diri dan hartanya serta kehidupannya.
Penelitian ini, menggali dan menjelajahi realitas penentuan kuantitas maskawin di
masyarakat dalam pandangan pengasuh pesantren di Kecamatan Kota Sumenep.
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab rumusan masalah, yaitu (1)
Bagaimana realitas penentuan maskawin yang dilakukan oleh masyarakat
Kecamatan Kota Sumenep? (2) Bagaimana pandangan pengasuh pesantren
tentang penentuan kuantitas maskawin di Kecamatan Kota Sumenep?
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian
fenomenologis. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah obsevasi dan wawancara, sedangkan informan penelitian ini adalah para
pasangan suami isteri dan para pengasuh pesantren di Kecamatan Kota Sumenep.
Kesimpulan hasil analisis penelitian ini:(1) Realitas masyarakat di
Kecamatan Kota Sumenep dalam penentuan maskawin yaitu, pertama, waktu
dilaksanakan pada saat sebelum akad nikah dilaksanakan. Kedua, mayoritas
penentuan maskawin ditentukan oleh calon isteri, ada juga yang ditentukan atas
kesepakatan berdua, ada juga yang ditentukan oleh calon suami tanpa
sepengetahuan dari calon isteri. Ketiga, bentuk maskawin terpopuler adalah
seperangkat alat shalat, sedangkan maskawin yang ngetrend, berupa uang atau
emas disesuaikan dengan tanggal. (2) Pandangan pengasuh pesantren tentang
penentuan kuantitas maskawin adalah pertama, hendaknya dalam penentuan
maskawin, kedua mempelai hendaknya harus saling memahami dan mengetahui
standar kelayakan dan kepantasan maskawin yang akan dijadikan maskawin
sehingga tidak terkesan memberatkan pada mempelai pria dan terhindar dari
kesan meremehkan mempelai wanita. Kedua, dalam penentuan maskawin
hendaknya lebih pada prinsip maskawin (bermanfaat, berharga dan berwujud) dan
atas dasar kerelaan kedua mempelai. Ketiga, dalam penentuan kuantitas dari
maskawin itu sendiri hendaknya lebih mendahulukan yang wajib (maskawin)
daripada adat dan kebiasaan di masyarakat. Ke empat, hendaknya maskawin
dapat dimanfaatkan dan diambil manfaatnya jangan sampai hanya disimpan atau
terpajang di dinding berbentuk Frame/pigora atau berada dalam balutan bungkus
yang indah tanpa digunakan.
Tidak tersedia versi lain